NADZAR : MAKRUH ATAU HARAM?
HUKUM NADZAR : MAKRUH ATAU HARAM?
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Setelah seseorang menentukan nadzar dan arahnya ; apakah boleh seseorang merubahnya bila mendapatkan arah yang lebih berhak ?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Setelah seseorang menentukan nadzar dan arahnya ; apakah boleh seseorang merubahnya bila mendapatkan arah yang lebih berhak ?
Jawaban
Akan saya kemukakan mukadimah terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan tersebut, yaitu bahwa tidak semestinya seseorang melakukan nadzar, sebab pada dasarnya hukum nadzar itu makruh ataupun diharamkan sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya di dalam sabdanya.
Akan saya kemukakan mukadimah terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan tersebut, yaitu bahwa tidak semestinya seseorang melakukan nadzar, sebab pada dasarnya hukum nadzar itu makruh ataupun diharamkan sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya di dalam sabdanya.
“Artinya : Sesungguhnya ia tidak pernah membawa kebaikan dan
sesungguhnya ia hanya dikeluarkan (bersumber) dari orang yang bakhil”
[1]
Maka, kebaikan yang anda perkirakan terjadi dari nadzar itu, bukanlah nadzar itu sebagai penyebabnya.
Banyak orang yang bila sudah sakit, akan bernadzar untuk melakukan
ini dan itu bila disembuhkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan bila sesuatu
hilang, dia bernadzar untuk melakukan ini dan itu bila menemukannya
kembali. Kemudian, bila dia ternyata disembuhkan atau menemukan kembali
barang yang hilang tersebut, bukanlah artinya bahwa nadzar itu yang
menyebabkannya akan tetapi hal itu semata berasal dari Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Dan Allah adalah Mahamulia dari sekedar kebutuhan akan suatu
persyaratan ketika Dia dimintai.
Oleh karena itu, anda wajib bermohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
agar disembuhkan dari sakit ini atau agar barang yang hilang ditemukan
kembali. Sedangkan nadzar itu sendiri, ia tidaklah memiliki aspek apapun
dalam hal ini. Banyak sekali orang-orang yang bernadzar tersebut, bila
sudah mendapatkan apa yang dinadzarkan, kemudian bermalas-malasan untuk
menepatinya bahkan barangkali tidak jadi melakukannya. Ini tentunya
bahaya yang amat besar. Sebaiknya, dengarkanlah firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala berikut.
“Artinya : Dan di antara mereka ada orang yang berikrar kepada Allah :
‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian dari karuniaNya kepada
kami, pasti kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang
yang shalih’. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian
dari karuniaNya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan
mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka
Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai pada waktu mereka
menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang
telah mereka ikrarkan kepadaNya dan (juga) karena mereka selalu
berdusta” [At-Taubah : 75-77]
Maka berdasarkan hal ini, tidak semestinya seorang mukmin melakukan nadzar.
Sedangkan jawaban atas pertanyaan diatas, maka kami katakan bahwa
bila seseorang bernadzar sesuatu pada arah tertentu dan melihat bahwa
yang selainnya lebih baik dan lebih diperkenankan Allah serta lebih
berguna bagi para hambaNya, maka tidak apa-apa dia merubah arah nadzar
tersebut ke arah yang lebih baik.
Dalilnya adalah hadits tentang seorang laki-laki yang datang ke
hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku telah bernadzar akan melakukan shalat di
Baitul Maqdis bila kelak Allah menganugrahkan kemenangan kepadamu di
dalam menaklukan Mekkah”. Maka beliau menjawab : “Shalatlah di sini
saja”, kemudian orang tadi mengulangi lagi perkataannya, lalu dijawab
oleh beliau, “Kalau begitu, itu menjadi urusanmu sendiri” [2]
Hadits ini menunjukkan bahwa bila seseorang berpindah dari
nadzarnya yang kurang utama kepada yang lebih utama, maka hal itu boleh
hukumnya.
[Fatawa Al-Mar’ah, dari Fatawa Syaikh Ibn Utsaimin, hal. 68]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah
Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi
Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit
Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam kitab Al-Iman (6608,6609), Muslim di dalam kitab An-Nadzar (1639,1640).
[2]. Hadits Riwayat Abu Daud di dalam kitab Al-Iman (3305)
Foote Note
[1]. Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam kitab Al-Iman (6608,6609), Muslim di dalam kitab An-Nadzar (1639,1640).
[2]. Hadits Riwayat Abu Daud di dalam kitab Al-Iman (3305)
0 Komentar