Buku Tamu

Hukum Shalawatan Diiringi Hadrah dan Marawis

Hukum Shalawatan Diiringi Hadrah dan Marawis


Bagaimana jika shalawatan atau bacaan shalawat diiringi hadrah dan marawis? Bolehkah?

Yang kami tahu, yang biasa menggunakan alat musik untuk puji-pujian adalah agama Nashrani. Ini yang penulis tahu sejak kecil ketika berada di lingkungan non-muslim di Papua sana. Namun beberapa waktu, penulis dapati pula pada umat Islam, ada juga irama musik dalam lagu pujian dan shalawat yang ini ada pada hadrah dan marawis. Setelah tahu demikian, penulis pun bertanya, kenapa sampai bisa serupa dengan Nashrani?

Penulis juga bertanya-tanya dalam hati, apakah shalawatan dengan irama musik seperti itu dapat dianggap memuji dan menjanjung Allah dan Rasul-Nya?

Padahal dalam shalat saja, kita baru bisa khusyu’ dengan membaca dan merenungkan kandungan ayat atau dzikir yang dibaca dalam shalat. Tanpa seperti itu, kita tidak dapat berdzikir, memuji Allah, dan membaca ayat dengan baik.

Apalagi sebenarnya Islam sangat membenci alat musik. Bahkan tanda semakin dekatnya akhir zaman yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah sebut dari jauh hari adalah dengan ada yang menghalalkan alat musik.

Coba renungkan hadits dari Abu ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari, ia menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ ، يَأْتِيهِمْ – يَعْنِى الْفَقِيرَ – لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا . فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 5590).

Yang dimaksud oleh Al-Ma’azif dalam hadits di atas adalah sesuatu yang melalaikan (Al-Malahiy). Sedangkan Imam Al-Qurthubi, dari Al-Jauhari menyatakan bahwa Al-Ma’azif adalah Al-Ghina’ (alat musik). Demikian penjelasan dalam Fathul Bari (10: 54) karya Ibnu Hajar.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz menyatakan bahwa ma’azif –seperti yang disebut dalam hadits di atas- adalah alat musik. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa di akhir zaman ada yang menghalalkan khamar, zina dan sutera. Itulah tanda nubuwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memang benar nyata terjadi. Hadits di atas menunjukkan akan haramnya alat musik. Hadits itu juga menunjukkan celaan bagi yang menghalalkannya sebagaimana tercela pula bagi yang menghalalkan khamar dan zina.

Berbagai ayat dan hadits –kata Syaikh Ibnu Baz yang pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia- menunjukkan bahwa adanya peringatan keras terhadap alat-alat musik. Siapa yang membolehkan alat musik, maka benar-benar ia telah terjatuh dalam kemungkaran yang begitu besar. Demikian disebutkan oleh Syaikh Ibnu Baz dalam Majmu’ Al Fatwa, 3: 423-424.

Ibnu Taimiyah yang lebih jauh sebelumnya dari masa Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz pernah menyatakan bahwa tidak ada dari generasi terbaik umat ini yang beribadah dengan alat musik.

Secara jelas Ibnu Taimiyah menyatakan, “Ketahuilah, tidak ada ahli agama, orang shalih, orang yang zuhud dan ahli ibadah yang ada di masa kejayaan Islam atau di masa tiga generasi awal, mulai dari yang di Hijaz, Syam, Yaman, Mesir, Maghrib, Irak, Khurasan yang kumpul-kumpul untuk mendengarkan orang yang bersiul dan bertepuk tangan. Tidak ada juga di antara mereka yang memainkan dhuf (rebana), memainkan telapak tangan, memainkan kayu. Yang seperti itu hanya terjadi setelah zaman generasi terbaik tadi, yaitu di akhir-akhir abad kedua. Para ulama sebenarnya mengingkari keras pula hal tersebut.” (Majmu’ Al Fatawa, 11: 569)
Dari penjelasan di atas, kira-kira apa yang bisa kita nilai dari shalawatan yang diiringi hadrah dan marawis? Apakah mungkin puji-pujian serta shalawatan diiringi dengan sesuatu yang Allah benci? Anda bisa simpulkan sendiri dengan merenungkan secara seksama penjelasan penulis di atas.
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Selesai disusun di Darush Sholihin Girisekar Panggang GK, 10: 34 PM, 6 Sya’ban 1436 H

Artikel Rumaysho.Com


Untuk bertanya pada Ustadz, cukup tulis pertanyaan di kolom komentar. Jika ada kesempatan, beliau akan jawab.

Posting Komentar

0 Komentar