Penulis: Ummul Hasan
Muraja’ah: Ust. Aris Munandar
Muraja’ah: Ust. Aris Munandar
Haid bagi
wanita merupakan salah satu bentuk nikmat dari Allah. Keberadaan darah
haid pada wanita menunjukkan bahwa wanita tersebut memiliki kemampuan
untuk memiliki keturunan. Islam memberikan penjelasan tentang beberapa
hal berkaitan dengan darah haid wanita.
Makna Haid
Menurut bahasa, haid berarti sesuatu yang mengalir (سَÙŠْلاً،جَرْÙŠً).
Adapun menurut istilah syar’i, haid adalah darah yang terjadi pada
wanita secara alami, bukan karena suatu sebab dan terjadi pada waktu
tertentu. Jadi, darah haid adalah darah normal, bukan disebabkan oleh
suatu penyakit, luka, gangguan atau proses melahirkan. Darah haid antara
wanita yang satu dengan yang lain memiliki perbedaan, misalnya jumlah
darah yang keluar, masa dan lama keluar darah haid setiap bulan.
Perbedaan tersebut terjadi sesuai kondisi setiap wanita, lingkungan,
maupun iklimnya.
Masa Haid
Menurut pendapat yang paling kuat diantara para ulama, masa haid
wanita tidak memiliki batas minimal maupun maksimal. Hal ini berdasarkan
dua alasan:
1. Dalil pertama adalah dari Al-Qur’an
Allah berfirman, yang artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: ‘Haid itu
suatu kotoran.’ Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita pada tempat keluarnya darah (farji), dan janganlah kamu mendekati
mereka sebelum mereka suci.” (Qs. Al-Baqarah:222)
Dalam ayat ini yang dijadikan Allah sebagai batas larangan adalah
kesucian, bukan sehari-semalam ataupun tiga hari, ataupun lima belas
hari. Hal ini menunjukkan bahwa illat (alasan) nya adalah ada atau
tidaknya darah haid. Jadi, jika ada haid maka berlakulah hukum itu dan
jika telah suci (tidak haid) maka tidak berlaku lagi hukum-hukum
berkaitan dengan haid tersebut.
2. Dalil kedua adalah dari As-Sunnah
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah radhiyallahu ‘anhu yang mendapatkan haid ketika dalam keadaan ihram untuk umrah, “Lakukanlah segala sesuatu yang dilakukan jama’ah haji, akan tetapi jangan melakukan thawaf di Ka’bah sebelum kamu suci.”Kata Aisyah, “Setelah masuk hari raya kurban barulah aku suci.”
Dalam Shahih Bukhari diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah radhiyallahu ‘anhu, “Tunggulah. Jika kamu suci, maka keluarlah ke Tan’im.”
Dalam hadits tersebut yang dijadikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan suatu masa
tertentu. Ini menunjukkan bahwa hukum tersebut berkaitan dengan haid,
yakni ada atau tidaknya.
Akhir masa haid wanita dapat ditentukan dengan dua cara, yaitu ketika
darah haid telah berhenti, tandanya jika kapas dimasukkan ke dalam
tempat keluarnya darah setelah dikeluarkan tetap dalam kondisi kering,
tidak ada darah yang melekat di kapas (-ed.). Yang kedua yaitu ketika
telah terlihat atau keluar lendir putih agak keruh (Ù‚ُصَّØ©ُ الْبَÙŠْضَاءُ).
Pada saat tersebut seorang wanita muslimah diwajibkan untuk segera
mandi dan mengerjakan sholat jika telah masuk waktu sholat. Hal ini
sekaligus merupakan nasehat agar para wanita tidak bermudah-mudah untuk
meninggalkan sholat padahal dia telah suci, dengan alasan bahwa mereka
belum mandi suci.
Wahai saudariku, ketika masa haid telah berakhir dan tidak ada udzur
syar’i bagimu untuk menunda mandi suci, maka segeralah mandi suci!
Tidakkah kita takut kepada Allah ketika sengaja menunda waktu mandi suci
agar tidak melaksanakan shalat?! Semoga Allah melindungi kita dari tipu
daya setan.
Darah Haid yang Terputus dan Istihadhah
Selama masa haid, terkadang darah keluar secara terputus-putus, yakni
sehari keluar dan sehari tidak keluar. Dalam hal ini terdapat dua
kondisi:
- Jika kondisi ini selalu terjadi pada seorang wanita setiap waktu, maka darah itu adalah darah istihadhah (darah karena penyakit), dan berlaku baginya hukum istihadhah.
- Jika kondisi ini selalu terjadi pada seorang wanita tetapi kadangkala saja datang dan dia mempunyai saat suci yang tepat.
Maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Adapun penjelasan
yang benar dalam masalah ini adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh
Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni,
“Jika berhentinya darah kurang dari sehari maka seyogyanya tidak diangap sebagai keadaan suci. Berdasarkan riwayat yang kami sebutkan berkaitan dengan nifas, bahwa berhentinya darah yang kurang dari sehari tidak perlu diperhatikan dan inilah pendapat yang shahih, insyaa Allah. Alasannya adalah bahwa dalam keadaan keluarnya darah yang terputus-putus (sekali keluar dan sekali tidak) bila diwajibkan bagi wanita pada setiap saat terhenti keluarnya darah untuk mandi, tentu hal ini akan menyulitkan, padahal Allah berfirman, yang artinya: “Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Qs. Al-Hajj:78)
“Jika berhentinya darah kurang dari sehari maka seyogyanya tidak diangap sebagai keadaan suci. Berdasarkan riwayat yang kami sebutkan berkaitan dengan nifas, bahwa berhentinya darah yang kurang dari sehari tidak perlu diperhatikan dan inilah pendapat yang shahih, insyaa Allah. Alasannya adalah bahwa dalam keadaan keluarnya darah yang terputus-putus (sekali keluar dan sekali tidak) bila diwajibkan bagi wanita pada setiap saat terhenti keluarnya darah untuk mandi, tentu hal ini akan menyulitkan, padahal Allah berfirman, yang artinya: “Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Qs. Al-Hajj:78)
Atas dasar ini, berhentinya darah yang kurang dari sehari bukan
merupakan keadaan suci kecuali jika si wanita mendapatkan bukti yang
menunjukkan bahwa dia suci. Misalnya, berhentinya darah tersebut terjadi
pada akhir masa kebiasaan atau melihat lendir putih.”
“Sehari” yang dimaksud pada penjelasan diatas adalah dua belas jam. Adapun contoh kasus dalam masalah ini adalah:
Seorang wanita biasanya haid selama enam hingga tujuh hari setiap
bulan. Pada hari ke-5 biasanya darah hanya akan keluar sedikit seperti
noktah seukuran uang logam (berbekas pada pakaian dalamnya). Pada malam
hari (saat aktivitas sedikit) darah tidak keluar. Pada hari ke-6 darah
akan tetap keluar namun sangat sedikit. Dalam kasus ini, wanita tersebut
belum dianggap suci pada malam di hari ke-5 karena menurut kebiasaan
haidnya, pada hari-hari akhir haid darah hanya akan keluar pada pagi
hingga sore hari (yaitu di saat dia banyak melakukan aktivitas).
Kemudian pada pagi di hari ke-7 dia melakukan banyak aktivitas tetapi
darah haid tidak lagi keluar sama sekali dan telah keluar pula lendir
putih yang biasanya memang muncul jika masa haidnya telah selesai. Pada
hari ke-7 itulah, wanita tersebut telah suci dari haid.
Hukum-Hukum Haid
Ketika seorang wanita sedang dalam keadaan haid, ada hal-hal yang terlarang untuk dilakukan:
Ketika seorang wanita sedang dalam keadaan haid, ada hal-hal yang terlarang untuk dilakukan:
- Shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah. Wanita haid tidak disyariatkan untuk mengganti shalat fardhu yang tidak dikerjakannya selama masa haid.
- Puasa, baik puasa fardhu maupun puasa sunnah. Akan tetapi, puasa fardhu (misalnya puasa Ramadhan) wajib diganti (qadha’) di hari lain di luar masa haidnya.
- Thawaf.
- Jima’. Suami tidak boleh melakukan jima’ (senggama) dengan istrinya yang sedang haid. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya,“Hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita pada tempat keluarnya darah (farji), dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci.” (Qs. Al-Baqarah:222)
Sedangkan hal-hal yang tetap boleh dilakukan oleh wanita yang sedang haid adalah:
- Berdiam diri di masjid.
Dalam masalah ini terdapat perbedaan yang luas dikalangan ulama (-ed.). tetapi, pendapat yang lebih kuat menurut kami, wanita yang sedang haid tetap boleh berdiam diri di masjid karena suatu kebutuhan (misalnya, mengikuti kajian yang dilangsungkan di masjid). Hal ini didasarkan pada kisah seorang wanita di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertugas mengurus masjid. Dia membangun tenda di dalam masjid dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari hal tersebut. - Membaca Al-Qur’an dan menyentuh mushaf
Sebagian wanita menghentikan sama sekali rutinitasnya membaca Al-Qur’an, padahal tidak ada larangan sama sekali membaca Al-Qur’an bagi wanita haidh. Masalah yang diperselisihkan adalah boleh tidaknya menyentuh mushaf Al-Qur’an (-ed.). Sebagian ulama’ berpendapat bahwa wanita haid tidak boleh menyentuh mushaf Al-Qur’an. Mereka berdalil dengan ayat Al-Qur’an yang artinya,“Dan dia (Al-Qur’an) tidaklah disentuh kecuali oleh al-muthohharuun (orang-orang yang suci).” (Qs. Al-Waaqi’ah: 79) Hal tersebut tidaklah benar, sebagaimana penjelasan Syaikh Al-Albani bahwa yang dimaksud al-muthohharuun pada ayat tersebut adalah para malaikat. Pendapat lain yang menyatakan bolehnya wanita haid menyentuh mushaf Al-Qur’an, yaitu pendapat Ibnu Hazm.
Meski demikian, sebaiknya jika mau menyentuh mushaf, memilih mushaf
yang memuat terjemahnya dalam rangka keluar dari khilaf ulama, karena
menurut ulama yang melarang menyentuh mushaf ketika haid, mushaf yang
dimaksudkan adalah mushaf asli. Adapun mushaf yang saat ini banyak
digunakan oleh kaum muslimin, seperti mushaf yang memuat ayat-ayat
Al-Qur’an beserta terjemahannya atau yang memuat ayat-ayat Al-Qur’an
beserta keterangan tambahan mengenai kaidah tajwid, bukanlah mushaf yang
terlarang untuk disentuh oleh wanita haid.
Tetap Bersemangat Meskipun Sedang Haid
Tetap Bersemangat Meskipun Sedang Haid
Sebagian wanita muslimah akan mengalami penurunan
semangat beribadah atau bahkan penurunan iman di saat sedang haid.
Padahal hal tersebut merupakan kesempatan emas bagi syaithan untuk
menggoda mereka. Dijumpai beberapa kejadian wanita yang terkena gangguan
jin terjadi di saat wanita tersebut sedang haid. Berikut ini adalah
amalan-amalan bernilai ibadah yang bisa dilakukan di masa haid:
- Memperbanyak dzikir kepada Allah.
- Menghadiri majelis-majelis ta’lim.
- Membaca buku-buku agama.
- Bergaul dengan orang-orang shalihah yang dapat menjaga semangatnya.
- Mengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaat bagi akhiratnya.
- Membaca Al-Qur’an.
Wallahu a’lam bishshawab.
[Disarikan dari “Darah Kebisaan Wanita” (terjemah kitab Risalatu Fiid Dimaa’ Ath-Thabii’iyah Lin-Nisaa’) oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, penerbit: Darul Haq, Juni 2005, dengan beberapa tambahan]
***
Artikel www.muslimah.or.id
Artikel www.muslimah.or.id
0 Komentar