Catatan Umrah 2011: Mengenang Syuhada Uhud
18 April 2011 pukul 12:28
Matahari
terik membakar bumi Nabiku, sedangakan aku berada di bawah lindungan
atap bis dengan terpaan air conditioner, menyejukkan. Pikiranku
menerawang pada perjuangan Rasulullah dan para shahabatnya, di matahari
yang sama, bahkan mungkin lebih terik, mereka memperjuangkan Islam
dengan keterbatasan masa lalu. Namun pikiran Rasulullah akan masa
depanlah yang menjadi magnet bagi para shahabat.
Di kejauhan, Aku melihat bukit-bukit batu berjajar memenuhi seluruh lanskap berlatarkan langit abu-abu, khas arabia. Jabal Uhud, begitu penududuk lokal menyebutnya. Bagiku nama itu punya makna tersendiri. Uhud mengingatkan aku akan pengorbanan Abu Ubaidah Al-Jarrah yang tanggal kedua gigi depannya, yang digunakannya untuk mencabut bola besi berduri yang menancap di pipi Rasulullah. Anehnya, pasca peristiwa yang menuntut patahnya gigi Rasulullah dan gigi Abu Ubaidah, justru para shahabat merasa iri dengan gigi depan Abu Ubaidah yang tanggal. Rupanya para shahabat menganggap diri mereka nomor dua dibandingkan keselamatan Rasul. Uhud juga mengingatkanku akan kekejaman Wahsyi yang menombak Hamzah al-Asadullah, suruhan Hindun, yang juga mengunyah jantung Hamzah.
Sambil mengingat-ingat syuhada perang Uhud, dan membayangkan dahsyatnya perang itu, langkah demi langkah membawaku pada puncak bukit Rummah, tempat Rasulullah memerintahkan 40 pemanah untuk menjaga bukit itu, dan menghadang pasukan kavaleri kafir Quraisy. Perintah Rasulullah sebagai panglima perang sangat jelas. Bahwa apapun yang terjadi pasukan pemanah tidak boleh menuruni bukit, baik dalam keadaan kalah atau menang.
Namun apa mau dikata, saat nafsu lebih utama daripada akal, pasukan pemanah membantah perintah pemimpin setelah melihat ghanimah yang sengaja diumpankan oleh Khalid bin Walid. Mereka menuruni bukit dan keadaan berbalik, Khalid mengambil manuver dari belakang bukit dan menghancurkan pasukan pemanah. Sehingga pasukan Quraisy yang berlipat-lipat jumlahnya dapat leluasa mengendalikan keadaan.
Uhud menjadi pelajaran yang paling tak terlupa buat seluruh kaum Muslim tentang ketaatan pada Rasulullah sebagai pemimpin perang. Korban sedemikan banyak, puluhan syuhada syahid dalam perang ini. Rasulullah sendiri terluka. Islam kehilangan kesatria-kesatria pilihannya. Hamzah bin Abdul Muthalib, Musab bin Umair diantaranya.
Apa sebabnya?! Ketidaktaatan sebagian kecil manusia.
Ketika perang Uhud, Rasulullah membawa serta 700 orang, dan kesalahan hanya dilakukan oleh 30 orang saja, atau hanya sekitar4 %. But the result is devastating. Kaum Muslimin mendapatkan malapetaka.
Pertanyaan selalu kembali kepada kita. Seandainya perjuangan ini adalah sebuah kegiatan jama’ah, dimana kita masing-masing memiliki peran dalam perjuangan, menjaga bukit kita masing-masing. Mungkinkah kita termasuk sedikit kesalahan yang membuat Allah mendatangkan malapetaka bagi kita berupa belum berhasilnya perjuangan kita?!
Jangan-jangan dunia telah membuat kita tuli dari teriakan pemimpin kita. Apakah surga tidak cukup menarik bagi kita untuk istiqamah dalam bukit kita masing-masing? Seandainya 30 anggota pasukan pemanah bersabar sedikit saja sampai waktu perang selesai, bukankah ghanimah yang mereka dapatkan jauh lebih banyak, apalagi pahala di sisi Allah.
Kun Imaman muuti’an au ma’muman ta’atan
Jadilah Imam yang ditaati atau ma'mum yang taat
Felix Siauw
Di kejauhan, Aku melihat bukit-bukit batu berjajar memenuhi seluruh lanskap berlatarkan langit abu-abu, khas arabia. Jabal Uhud, begitu penududuk lokal menyebutnya. Bagiku nama itu punya makna tersendiri. Uhud mengingatkan aku akan pengorbanan Abu Ubaidah Al-Jarrah yang tanggal kedua gigi depannya, yang digunakannya untuk mencabut bola besi berduri yang menancap di pipi Rasulullah. Anehnya, pasca peristiwa yang menuntut patahnya gigi Rasulullah dan gigi Abu Ubaidah, justru para shahabat merasa iri dengan gigi depan Abu Ubaidah yang tanggal. Rupanya para shahabat menganggap diri mereka nomor dua dibandingkan keselamatan Rasul. Uhud juga mengingatkanku akan kekejaman Wahsyi yang menombak Hamzah al-Asadullah, suruhan Hindun, yang juga mengunyah jantung Hamzah.
Sambil mengingat-ingat syuhada perang Uhud, dan membayangkan dahsyatnya perang itu, langkah demi langkah membawaku pada puncak bukit Rummah, tempat Rasulullah memerintahkan 40 pemanah untuk menjaga bukit itu, dan menghadang pasukan kavaleri kafir Quraisy. Perintah Rasulullah sebagai panglima perang sangat jelas. Bahwa apapun yang terjadi pasukan pemanah tidak boleh menuruni bukit, baik dalam keadaan kalah atau menang.
Namun apa mau dikata, saat nafsu lebih utama daripada akal, pasukan pemanah membantah perintah pemimpin setelah melihat ghanimah yang sengaja diumpankan oleh Khalid bin Walid. Mereka menuruni bukit dan keadaan berbalik, Khalid mengambil manuver dari belakang bukit dan menghancurkan pasukan pemanah. Sehingga pasukan Quraisy yang berlipat-lipat jumlahnya dapat leluasa mengendalikan keadaan.
Uhud menjadi pelajaran yang paling tak terlupa buat seluruh kaum Muslim tentang ketaatan pada Rasulullah sebagai pemimpin perang. Korban sedemikan banyak, puluhan syuhada syahid dalam perang ini. Rasulullah sendiri terluka. Islam kehilangan kesatria-kesatria pilihannya. Hamzah bin Abdul Muthalib, Musab bin Umair diantaranya.
Apa sebabnya?! Ketidaktaatan sebagian kecil manusia.
Ketika perang Uhud, Rasulullah membawa serta 700 orang, dan kesalahan hanya dilakukan oleh 30 orang saja, atau hanya sekitar4 %. But the result is devastating. Kaum Muslimin mendapatkan malapetaka.
Pertanyaan selalu kembali kepada kita. Seandainya perjuangan ini adalah sebuah kegiatan jama’ah, dimana kita masing-masing memiliki peran dalam perjuangan, menjaga bukit kita masing-masing. Mungkinkah kita termasuk sedikit kesalahan yang membuat Allah mendatangkan malapetaka bagi kita berupa belum berhasilnya perjuangan kita?!
Jangan-jangan dunia telah membuat kita tuli dari teriakan pemimpin kita. Apakah surga tidak cukup menarik bagi kita untuk istiqamah dalam bukit kita masing-masing? Seandainya 30 anggota pasukan pemanah bersabar sedikit saja sampai waktu perang selesai, bukankah ghanimah yang mereka dapatkan jauh lebih banyak, apalagi pahala di sisi Allah.
Kun Imaman muuti’an au ma’muman ta’atan
Jadilah Imam yang ditaati atau ma'mum yang taat
Felix Siauw
0 Komentar