Desember di Indonesia diperingati sebagai Mother’s Day –
Hari Ibu. Kita nggak tau darimana datengnya itu, yang jelas seharusnya
Hari ibu bukan alasan untuk baik pada ibu pada satu hari aja, karena
mereka layak mendapatkan itu dari kita setiap harinya.
Jadi
Hari Ibu seharusnya bukan ajang ‘pamer’ perhatian pada ibu pada satu
hari saja, namun lebih kepada pengingat bagi ibu dan bagi anak-anak ibu
untuk menghormati dan memuliakan posisi sebagai seorang ibu.
Maka setidaknya ada hal-hal yang harus diingat oleh ibu dan calon ibu:
1. Islam memandang ibu adalah pendidik utama anak
Dalam
hadits disebutkan: “Wahai Rasulullah, siapakah di antara manusia yang
paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?” Rasulullah menjawab,
“Ibumu.” “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Ibumu,” jawab beliau.
Kembali orang itu bertanya, “Kemudian siapa?” “Ibumu.” “Kemudian
siapa?” tanya orang itu lagi. “Kemudian ayahmu,” jawab Rasulullah (HR. Bukhari dan Muslim)
Disini
ibu disebutkan Rasulullah 3x baru ayah 1x. Kalau boleh mengambil
permisalan, maka seharusnya ibu punya tanggung jawab 3x lipat dari
ayah. Ibulah yang mendidik anak-anaknya dalam porsi yang lebih besar.
Semakin baik kualitas ibu, semakin baik generasi yang dihasilkan.
2. Islam menaruh ibu sebagai orang nomor satu ditaati setelah Allah dan Rasul-Nya
Posisi ini juga bukan posisi yang sembarang, ini posisi yang sangat mulia. Islam lewat ‘birrul walidain’
menggariskan bahwa posisi orangtua adalah paling tinggi setelah Allah
dan Rasul-Nya. Dan ketaatan pada mereka disamakan dengan ketaatan pada
Allah, dan murka mereka sama seperti murka Allah.
Dalam
kenyataan, masih banyak kita temukan orangtua, terutama ibu yang justru
melarang anaknya berbuat baik, bahkan mensponsori keburukan. Melarang
anaknya berkerudung dan berjilbab, melarang anaknya berdakwah dan
berjuang dalam Islam, atau bahkan meminta anaknya berpacaran.
Bayangkan, bagaimana yang terjadi pada generasi Islam bila orangtuanya semacam ini? Subhanallah.
Seharusnya
sebagai orang yang paling ditaati setelah Allah dan Rasulullah, ibu
menjadi tiang utama dalam mengajarkan amar ma’ruf dan nahi munkar bagi
anaknya. Menjadi teladan hidup bagi anak-anaknya dalam perjuangan
Islam.
3. Ibu lebih memerlukan ilmu dalam mendidik anak-anaknya, karena itu ibu harus lebih banyak ikutan majelis ta’lim (majelis ilmu)
Anak
akan menyerap apapun yang dikatakan ibunya, karena ibunya adalah
patron baginya. Ada ibu-ibu yang beralasan pada saya bahwa dia terlalu
sibuk, terlalu banyak kerjaan untuk mengikuti majelis ta’lim dan mengkaji Islam.
Justru
sebaliknya, semakin banyak kita memiliki anak, maka semakin banyak
ilmu yang perlu kita siapkan. Dan ilmu tidak mungkin ada tanpa kita
cari dan kita kaji.
Membesarkan anak tanpa ilmu sama saja
menuntunnya ke depan jurang kehidupan. Dan mencari ilmu dalam mendidik
anak (walaupun sulit), akan memudahkan urusan kita di alam kubur
nantinya.
4. Sayang sekali, sekarang banyak ibu yang lebih sayang kambing daripada anaknya, kambingnya diiket, anaknya dibiarin
Coba
lihat menjelang Idul Adha. Kambing diikat dimana-mana, takut
kehilangan. Ironisnya, ibu-ibu sering membiarkan anaknya bermain tanpa
pengawasan, dan akhirnya mempelajari hidup bukan dari ibunya, tetapi
dari teman-temannya. Balik rumah syukur, nggak balik ya buat lagi.
Ada
juga orangtua yang sibuk ikut majelis ta’lim namun tak perhatian pada
anaknya. Mereka lupa bahwa ilmu bukanlah simpanan, namun sesuatu yang
harus dibagikan. Mereka puas ketika menutup aurat, namun bangga ketika
anaknya mengumbar aurat. Banyak yang seperti itu bisa kita lihat pada
umat Islam masa kini.
Lebih parah lagi ketika ibu menyuruh
anaknya berbuat baik, namun tidak mencontohkan dengan dirinya. Meminta
anaknya menutup aurat di sekolah, namun ia menjemput anaknya dengan
tanktop. Seperti lilin, menerangi orang lain tapi membakar diri
sendiri.
Rupanya banyak ibu yang melupakan bahwa untuk
melahirkan anak itu perlu perjuangan luar biasa selama 9 bulan 10 hari
ditambah fase melahirkan. Kebanyakan ibu memberikan perhatian di
awal-awal saja, padahal pendidikan kepada anak itu terus berlanjut
hingga mereka baligh, bahkan sampai salah satu darinya meninggal.
5. Buat ibu-ibu yang berkarir, “is it worthed?” sekian juta sebagai pengganti waktu dengan buah hati?
Bila kita menanyakan “Siapa ibu de-facto anak-anak masa kini?”. Mungkin ‘pembantu’, ‘babysitter’
adalah jawaban yang tepat. Anak-anak main dengannya, tidur dengannya,
bercengkerama dengannya, disuapi makan olehnya dan bahkan disusui
olehnya. Dengan alasan nafkah (yang sebenarnya bisa kalau diusahakan)
mereka menerjunkan diri pada dunia kerja yang tak berkesudahan. Pergi
saat buah hati masih tidur, dan pulang ketika mereka telah tidur.
Jangan salahkan pembantu dan babysitter ketika anaknya nantinya justru menangis saat ditinggal pembantu atau babysitter daripada ditinggal ibunya.
Saya
meminta istri saya tetap dirumah mengurus rumah dan anak. Salah satu
alasan yang paling kuat adalah; saya nggak mau ketika anak saya telah
dewasa, dan seandainya dia tidak seperti yang saya harapkan, lalu saya
dan istri terucap “Coba dulu kita menghabiskan waktu lebih banyak untuk dia (anak)!”
Maksimal
mendidik anak bukan masalah materi. Tapi masalah ilmu yang kita
berikan untuk dia. Jangan sampe nyesel dibelakang karena nggak
memberikan pendidikan yang maksimal.
Ala kulli hal,
bagi ibu-calon ibu-dan anak-anaknya. Patut kiranya kita mengetahui
bahwa jasa ibu tak akan dapat dibalas oleh anak-anaknya. Simak hadits
berikut:
Suatu ketika Rasul ditanya oleh seseorang : “
Ya Rasul, sungguh saya telah menggendong ibu saya sejauh 2 farsakh
(9,6 kilometer) di jalan berpasir yang terik, andai atas pasir itu
diletakkan sepotong daging niscaya matang daging itu. Apakah dengan
begitu saya telah menyampaikan rasa terima kasih saya kepadanya ? “,
Nabi menjawab, “Mungkin hal itu baru bisa membalas sedikit rasa
sakitnya saat bunda melahirkanmu” (HR Thabrani )
Semoga
sayang kita kepada kedua orangtua khususnya ibu menjadi lebih
termaknai, dan semoga persiapan menjadi ibu serta mendidik anak semakin
baik.
Felix Siauw
follow me on twitter @felixsiauw
0 Komentar